Zahrah Nurfadhilah's Blog

Rutinitasku memandangi langit… setiap pagi, atau saat sore menjelang. Putih biru, terkadang berhias cahaya keemasan. Membuat hatiku menggetarkan kalimat puji2an pada yang menciptakannya dan aku. Subhanallah…

Tapi entah kenapa…

Belakangan ini, aku semakin sering berlama2 memandangi langit. Hatiku sedang berada dalam kegundahan. Seperti ada kesedihan mendalam yang bersembunyi di dalamnya. Entah apa itu. Yang terkadang membuatku berdesah panjang. Membuat mataku berkaca2…

Sendiri, ya. Sendirian aku merasakan kegundahan itu. Gundah yang entah datang darimana. Tak bisa aku berbagi, bahkan pada teman terdekatku yang aku yakin siap menerima semua keluh kesahku. Di saat2 perasaan aneh itu tiba, aku menikmati kesendirianku. Menikmati percakapanku dengan nuraniku sendiri dan terkadang bertanya pada langit,, hal apa yang melanda diriku ini?

Langit hanya terdiam. Tidak pernah menjawab semua pertanyaanku. tapi hatiku tenang. Memandangi biru putihnya di ujung sana, membuat hatiku benar-benar merasa nyaman. Selalu, selalu ada rasa rindu yang menyusup ke dalam hatiku saat aku memandangi langit. Yang sampai kini aku bertanya, rindu ini pada siapa?

Entahlah…

Gundah,, apa rasa itu berasal dari rasa rindu yang entah pada siapa itu? Lagi2 aku bertanya dan tak menemukan jawaban. Mungkin benar. Aku rindu, rindu yang begitu terasa sampai ke urat nadiku setiap memandangi langit. Sebagian hatiku nyaman karena langit yang kupandangi itu seolah2 selalu tersenyum setiap kali aku menyapanya. Namun sebagian hatiku merasa hampa ketika rasa rindu itu kembali mengisi ruang-ruang hatiku.

Rindu apa? Huft. Entahlah…

Mungkinkah ada seseorang yang juga merindukanku di atas sana? Yang sampai hari ini, selalu setia menungguku. Atau mungkin ada seseorang di belahan bumi lain, yang meminta langit untuk menyampaikan rasa rindunya padaku. Sehingga akupun merindu padanya. Haha… terkadang pikiran2 bodoh itu memenuhi kepalaku. Yang penasaran mencari muara dari rindu yang aneh ini.

Atau mungkin… ini bukanlah rasa rindu. Mungkin ini hanyalah hati yang terlalu terbawa oleh perasaan. Yang dengan sembarangan mendefenisikan ini sebagai rasa rindu. Rindu yang tak bertuan.

Dan langit… sahabat setiaku. Mungkin langit pun merasa tak sabar terus menerus berdiam. Mungkin langitpun tak tega melihatku oleng tak tentu arah. Hingga kudengar langit berbisik….


“Mungkin sebenarnya kau merindukan penciptaku. Atau mungkin, penciptaku-lah yang merindukanmu untuk kembali. Kembali pada saat dimana kau selalu mengingatNya dalam perbuatanmu, dalam lisanmu, juga dalam hatimu… kembalilah, wahai sahabatku.”

Andai aku bisa memutar waktu,

Andai ku tahu jika akhirnya akan begini,

Tak akan aku kenal siapa dirimu,

Tak akan kubiarkan hati ini tertawan olehmu..

Andai aku bisa kembali ke masa lampau,

Andai dapat kutemukan mesin waktu,

Kan kupalingkan wajahku saat bertemu denganmu,

Kan kututup mataku dari senyummu..

Yang kini buatku tak berdaya…

Bukan sesal karna rasa yang indah ini.

Namun aku tersadar tentang sesuatu yang belum saatnya.

Yang seharusnya ku tanam jauh lebih dalam.

Hanya di dasar hatiku saja…

Padang, 14 Mei 2010

Jalan-jalan itu kembali membuka memoar lama,

Mengembalikanku ke masa lampau,

Masa-masa dimana aku bermetamorfosis menjadi diriku kini,

Menyiratkan kerinduan yang dalam,

Yang terpatri di kalbuku…

Teringat semua hal lalu yang telah lama kulewati,

Terbayang wajah-wajah sahabat yang lama tak bersua,

Terbayang wajah-wajah teduh sang guru,

terbayang…. Setiap sudut kenangan di sana…

Senyum guru yang bagai embun di hati yang gersang,

Tawa sahabat yang bagai pelipur setiap lara,

Inginku, kembali ke masa itu.

Kicauan burung pagi, suara riakan sungai…

Angin siang semilir, menjadi alunan musik tarian pepohonan,

Silau keemasan setiap senja menyingsing,

Dan saat gelap… beribu-ribu bintang terhampar,

Fenomena yang ganjil di tempatku kini.

Bak surga sebelum surga,

Bersama jiwa-jiwa yang rindu dengan tuhannya.

Jalan-jalan kenangan,

Yang tak akan hilang dalam memori,

Cerita tentang titik balik terbesar dalam hidupku,

Yang akan selalu tersimpan di hati.

Padang, 30 Desember 2009.

Kyaaa…. Akhirnya, sekarang aku bener2 udah masuk ke bulan ramadhan. ^^

Amunisi kali ini harus lebih kuat dan lbih banyak dari sebelumnya, supaya bisa jadi ramadhan yang lebih baik daripada ramdhan tahun kemarin. Setan2 kali ini, gimanapun caranya, harus bisa aku kalahkan! Hohoho…

Tahun kemarin? Emang kenapa dengan tahun kemarin??

Hmmhh… ntahlah, yang jelas, aku ngerasa ramadhan tahun kemarin itu gagal. Target-target banyak yang ga kecapai. Semangat ga ada. Ntah kenapa… T_T

Mungkin krna aku ga dapet awal2 ramadhan kali ya? Hehehe..

Tapi beda dengan kali ini. Semangat! Yeah! Ditambah lagi dengan adanya pacu khatam Al-Qur’an ama temen2. moga2 kecapai. Amin. Amin. Amin.  🙂

Ahh… gimana dengan puasa pertama adekku disana ya? Si jail yang sekarang masuk pesantren. Rumah jadi kurang gokil ga ada dia nih,, ga ada juga temen balap khatam di rumah. Ato tahajjud bareng,, ato dhuha bareng. Huhuhuu.. T_T

Sejak yasin masuk pesantren (tempat aku pesantren dulu) rumah jadi raa sepi gitu. Kerasa banget ga ada dianya. Yah, habisnya… dia yang biasa bikin rame di rumah. Macam2 aja tingkahnya. Tapi justru karena itu dia jadi ngangenin… *akh,, kalo dia baca ini, bisa kembang tuh idungnya. -_-“

Lain dengan adekku yang tiga lagi. Sehari puasa kemarin aja, habis ama mereka dengan gantian maen game. Tapi tak apalah… daripada mereka inget terus ama buka.

Hmmhh… shalat shubuh di mesjid tadi bikin risih. Risih kenapa? Alasannya bukan karena aku yang seleb di komplek ini, digangguin ama anak2 komplek.(hoekkhh…). Bukan, bukan sama sekali. Hehe.

Tapi karna pas shalat tadi, ibu2  pada ga rapat shaffnya. Yang ada, sajadah mereka yang lebar2 itu yang pada rapat. Kan jadi renggang shaffnya. Huffftt. Apalagi tadi, ibu disamping aku ga mau ngegeserin sajadahnya lagi. Jadinya kami shalat dengan jarak satu orang(walau orang yang kurus si). tapi kan tetep aja. Renggang. Yang harus dirapatin kan shaffnya, bukan sajadahnya…

Tapi mo gimana lagi..

Mudah2an aja shalat kami tetep di terima ama Allah. Amiin.

Kegiatan pesantren ramadhan masih seperti biasa. Bisa ngumpul2 lagi ama temen2. maklum, aku anak rumahan.. dan kalo pulang skul biasanya udah maghrib. Jadinya jarang banget punya waktu buat ngumpul2 ama temen2 di komplek. kami jadi kangen ella… temenku yang udah dijemput duluan sama Allah taun lalu. Karna gempa besar 30 September 2009. Ramadhan tahun lalu jadi ramadhan kami yang terakhir bisa ngeliat tawanya itu. Dia anak yang paling periang. Banyak celoteh. Akhh,, sekarang udah ga ada. Hiks. Moga2 ella dapet tempat yang terbaik disisiNya…

*kangen… T_T

Kicauan burung menghiasi pagi ini. Gemercik air sungai, menambah syahdunya alam. Angin sejuk sepoi-sepoi menghembus, terdengar dedaunan yang saling bergesek. Senandung alam yang merdu. Damai, tentram. Luntur sudah semua kepenatan hidup. Terlupakan sejenak, dengan rasa damai yang menjalar keseluruh pori-pori tubuh. Seseorang memejamkan matanya, sambil merentangkan tangan berdiri diatas sebuah batu di sungai. Menghirup udara yang segar, sambil tersenyum.

“Pagi yang indah ya, Ram…” ujarnya pada seorang temannya yang terduduk di tepi sungai, tak jauh dari tempatnya berdiri. Kini ia menurunkan kakinya setengah betis ke dalam sungai. Air yang segar mengejutkan seluruh sel-sel syaraf dalam otaknya.

“Ya, tapi tidak bagiku Gus…” tanggap Ramadhan, sambil menghela nafas panjang, serasa ingin melepas semua beban yang memberatkan hatinya, menganggu pikirannya. Agustus mendelik heran.

“Apa yang membebanimu, sobat?” Tanya agustus pada sahabatnya itu. Ramadhan hanya mendesah pelan. Ia pun akhirnya menghampiri Ramadhan, duduk di batu yang lebih dekat dengannya.

“Ceritalah… mungkin aku bisa membantu?” Tanya agustus sekali lagi.

“Aku yakin kau tidak bisa membantuku, Gus…” Ramadhan memperhatikan riak-riak sungai dengan tatapan kosong.

“Hmm, setidaknya dengan bercerita akan mengurangi bebanmu. Ceritalah…” bujuk Agustus lagi.

“Hufft. Aku takut Gus. Aku takut kalau-kalau laporanku tahun ini mengecewakan lagi.” Agustus mengerutkan kening.

“Laporan?”

“Ya… Laporanku. Kau enak, Gus… setidaknya laporanmu tidak mengecewakan seperti laporanku.” Ramadhan berdiri, menginjakkan kakinya di sungai. Ia pun mencari batu yang nyaman untuk diduduki.

“Apa yang membuat laporanmu mengecewakan? Memangnya laporanmu tahun lalu mengecewakan?” Tanya Agustus lagi.

“Ya, sangat. Aku bahkan sudah lupa kapan terakhir kali laporanku tidak mengecewakan…” Agustus hanya diam, menunggu tiap kata dari sahabatnya itu.

“Kau pasti tau kan, banyak manusia yang tercatat beribadah dalam laporanmu tahun lalu?”

“Ya, banyak sekali. Bahkan hampir semua manusia yang mengikuti agama kita tercatat beribadah dalam laporanku. Hal itu membuatku senang.” Jawab Agustus sembari tersenyum, mengingat laporannya tahun lalu.

“Tapi tidak dalam laporanku… nyaris kosong, Gus. Ya.. Nyaris kosong. Bahkan banyak manusia yang melakukan maksiat yang tercatat dalam laporanku tiap tahunnya.” Ramadhan tertunduk dalam, hal ini benar-benar membuat hatinya perih.

“Hmm? Apa maksudmu? Bukankah dalam laporanmu banyak orang yang berpuasa? Seharusnya itu nilai plus bukan? Seperti laporanku…”

“Ya, mereka semua berpuasa. Tapi puasa tinggallah sekedar puasa bagi mereka. Setelah bulan puasa berlalu, apa yang berubah dari mereka, Gus? Apa? Nihil. Nyaris semuanya sia-sia.” Agustus tertegun.

“Kenapa begitu?”

“Mereka puasa bukan karena ikhlas Gus… bukan karena Allah. Banyak di antara mereka menjadikan puasa hanya sebagai rutinitas setiap tahunnya, tanpa hati. Mereka puasa, tetapi hati mereka tidak dipuasakan. Mereka berlapar-lapar dahaga, tetapi nafsu mereka kenyang-kenyangkan!”

“Puasa bagi mereka hanya sebagai identitas. Identitas?? Ya, hanya identitas belaka, Gus… Hanya sebagai bukti kalau agama islam dalam KTP mereka itu benar…”

Agustus masih menatap Ramadhan dengan tatapan heran. Masih tidak mengerti dengan apa yang dibicarakan sahabatnya.

“Bukankah mereka semua melaksanakan shalat tarawih setiap malamnya, Ram? Dalam laporanku, sungguh ramai mesjid-mesjid dengan manusia pada malam hari. Karena bertepatan pula dengan jadwal kerjamu.”

Ramadhan menatap Agustus dengan sendu.

“Ya, Gus… memang benar mereka shalat tarawih, memang benar mereka meramaikan mesjid. Tetapi banyak hati mereka yang salah niat. Mereka jadikan ajang memamerkan diri! Agar terlihat oleh tetangga mereka kalau mereka itu rajin ibadah… taat agama. Mereka shalat, tetapi dengan hati yang sombong. Ada pula yang menjadikan shalat tarawih itu hanya sebagai kewajiban. Ya, kewajiban semata! Bukan karena mereka butuh akan shalat itu sendiri.”

“Khususnya anak-anak remaja, Gus… sungguh perih hati ini melihat mereka yang menodai mesjid. mereka pergi ke mesjid, tetapi bukan untuk tarawih, bukan untuk meramaikan mesjid dengan semestinya. Mereka malah menjadikan mesjid itu untuk tempat mereka berkumpul-kumpul dengan temannya. Atau hanya sebagai alasan mengambil absen ke mesjid. Kau tahu bukan, dalam bulanku ini anak-anak remaja mengikuti pesantren ramadhan, yang mewajibkan mereka untuk tarawih di mesjid?”

“Ya, Ram… itu tercatat dalam laporanku tahun lalu…”

“Hanya karena itulah mereka melakukan shalat itu, Gus… bagaimana aku tidak sedih??” nyaris saja Ramadhan tidak bisa menahan air matanya. Dadanya sudah terasa sangat sesak.

“Lalu, bagaimana dengan infak dan sedekah mereka selama itu, Ram? Bukankah mereka bersedekah?” Tanya agus lagi dengan hati-hati. Kini ia mulai mengerti, dan mulai bisa merasakan apa yang melanda hati sahabatnya itu.

“Sama saja! Sama saja, Gus… ajang menyombongkan diri. Atau ajang sekedar asal-sudah-berinfak saja. Banyak sekali yang justru bukan karena ikhlas. Aku tidak mengerti Gus, kenapa dengan manusia sekarang??”

Agus hanya terdiam. Ia benar-benar tidak tahu semua tentang itu. Yang ia tahu, dan yang ia catat dalam laporannya hanyalah apa yang tampak olehnya secara kasat mata.

“Jangan pula kau tanyakan tentang ibadah-ibadah lainnya, Gus… jangan! Karena semuanya sama saja. NIHIL. Semua yang mereka lakukan itu tidak mengubah apapun. Tidak mempengaruhi mereka sedikitpun. Setelah berpisah mereka dengan bulanku, mereka kembali seperti semula. Kembali jahili! Bukannya kembali menjadi fitri kembali…”

“Itu semua karena mereka sudah kehilangan iman, Gus…. Mereka tidak menyadari ada kekuasaan di atas sana yang selalu mengawasi mereka. hiks” Kali ini hancur sudah pertahanan Ramadhan. Buliran-buliran air hangat menganak sungai di pipinya. Agus hanya bisa menepuk-nepuk pundak Ramadhan dengan lembut. Pikirannya ikut berkecamuk. Tidak menyangka dengan ini semua.

“Mereka tidak tahu, Gus… atau mereka sengaja membutakan mata hati mereka. Mereka tidak peduli akan mulianya bulanku, gus… betapa Rabb kita sudah banyak menjanjikan kebaikan yang berlipat ganda untuk mereka… tetapi mereka tidak peduli.”

“Mereka isi bulanku dengan kesia-siaan. Dengan maksiat! Mereka menodai bulanku dengan tanpa rasa bersalah, Gus… hiks.”

Untuk beberapa saat mereka saling diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Hanya suara riak-riak sungai yang memecah keheningan diantara mereka. Angin memang sepoi-sepoi bertiup, tetapi badai sedang melanda hati mereka berdua.

“Aku benar-benar tidak tahu akan itu, Ram…” Agustus kembali membuka suara. Ramadhan terdiam sejenak, lau menghela nafas…

“Ya, Gus… kau memang tidak tahu. Kita membuat laporan dengan pengamatan yang berbeda bukan? Laporanmu kelaklah yang nantinya akan membuktikan kemunafikan mereka itu, Gus…”

“Jadi, laporanmu yang tahun lalu-kah yang membuatmu merasa terbebani seperti ini?” Tanya Agustus lagi.

“Hmmhh… bukan, Gus. Justru laporanku selanjutnya. Aku takut akan mengecewakanku kembali. Aku takut mereka justru menambah noda dalam laporanku ini. Aku sedih…”

Agustus terdiam lagi.

“Akh, tetapi ada diantara mereka yang membuatku terhibur, gus.” Ujar Ramadhan lagi, wajahnya terlihat lebih cerah. Tanpa Agustus bertanya ‘siapa mereka’ pun, Ramadhan kembali bercerita.

“Mereka yang berpuasa karena memang hatinya yang menginginkannya gus, mereka yang ikhlas sepenuh hati mengisi kebaikan-kebaikan dalam bulanku. Beribadah karena Rabb mereka. Mereka yang merindukanku selama sebelas bulan sebelum bulanku datang. Mereka yang benar-benar mempuasakan hati dan nafsunya. Ya, mereka… walau mereka hanya sedikit Gus, tapi mereka bisa menghiburku. Cukup mengobati hatiku.” Ramadhan tersenyum.

“Semoga mereka yang menyenangkan hatimu itu, jumlahnya semakin bertambah kali ini, Ram…” tanggap Agustus lagi.

“Ya, semoga Gus… dan kuharap laporanku selanjutnya tidak mengecewakanku lagi. Walau… ahh, tidak mungkin rasanya. Manusia sekarang sudah benar-benr berbeda Gus. Sudah banyak yang melupakan Rabbnya…” balas Ramadhan lagi.

Beberapa ekor burung terbang rendah, nyaris menyentuh air sungai. Kicauan merdunya menentramkan hati. Benarlah kata Agustus, dengan bercerita, bisa untuk mengurangi beban di hati Ramadhan. Walau begitu, Ramadhan tidak bisa menghilangkan resah di hatinya. Ia benar-benar takut dan sedih. Percakapan itupun berlanjut. Banyak hal yang mereka bicarakan. Tanpa terasa, matahari pun sudah meninggi…

Apa kabarmu sekarang, wahai sepupuku? Dirimu yang dulu, yang penakut dan cengeng. Yang selalu puas aku dibuatnya, karena mengerjaimu. Yang selalu tidak berani dan selalu minta ditemani setiap kau ingin ke kamar mandi dimalam hari. Yang menangis ketakutan ketika aku menakut-nakutimu dengan hantu pocong, atau hantu sundel bolong. Dirimu yang suka makan, yang lucu… apa kini tetap sama?

Tidak. Dirimu kini sudah jauh berbeda. Ya… berubah menjadi pribadi yang lain. Hidup yang sulit memaksamu untuk berubah. Dunia yang kejam mendidikmu dengan paksa untuk menjadi kuat. Mencambukimu, hingga kau terbiasa dengan sakitnya…

Jar… duhai sepupuku tercinta. Umur kita hanya terpaut beberapa bulan. Aku bersyukur, bisa menjadi saudara sesusuanmu. Membuatku bisa menyayangimu lebih. Lebih dari sekedar sepupu, sebagai seorang adik sekaligus kakak dalam artian yang nyata. Masa kecilku yang penuh canda dan pertengkaran denganmu. Selalu aku yang akhirnya menertawaimu. Selalu aku yang menang dalam tiap2 pertengkaran. Ahh, kini potongan2 kenangan itu bagai sebuah film bagiku. Satu persatu berputar dalam ingatanku akan dirimu. Tawamu, tangismu, takutmu, kesalmu… semuanya. Aku rindu!

Diawali dengan perceraian bapak dan ibumu. Dulu aku tak mengerti apa itu artinya perceraian. Dulu aku tak mengerti akan perihnya hatimu ketika bapak ibumu berpisah. Bapakmu yang menikah lagi, dan ibumu yang membesarkanmu dengan seorang adik. Umurmu masih begitu belia saat itu, sama sepertiku. Tapi kau harus kehilangan cinta seorang ayah. Tapi kau sudah harus merasakan kecacatan dalam keluargamu. Mungkin dulu kau pun tak mengerti akan semua itu. Tapi kini aku tau, kalau dirimu sebenarnya sedih walau dalam ketidakmengertianmu. Kini aku bisa merasakan perihnya. Kini aku bisa ikut menangisinya. ;(

Ingin rasanya aku kembali ke masa silam. Biar ku basuh luka2mu saat itu. Biar ku obati, biar ku lengkapi cinta ayahmu yang hilang itu. Tapi kini terlambat sudah. Kau terlanjur menelan takdir pahit itu sendiri. tanpa orang tau, raungan hatimu menanyakan kenapa ini semua terjadi padamu.

Dan disaat kau menemukan sosok ayah yang baru. Bisa kulihat senyum dalam hatimu. Ada bunga yang mekar disana. Kau temukan lagi bahagia yang hilang beberapa saat lalu. Entahlah apa yang sebenarnya kau rasakan, tapi aku bisa melihat bahagiamu lagi saat itu.

Akupun bisa sedikit lebih tenang ketika harus meninggalkanmu, jauh melewati pulau.

Tak ada lagi cengengmu terlihat, tak ada lagi tangis dan tawamu terdengar. Aku tak tahu apa yang terjadi padamu disana. Hingga akhirnya… kabar itu datang.

Ya, kabar… yang membuat lututku lemas ketika mendengarnya. Ayah barumu, yang begitu menyayangimu, yang melengkapi cinta seorang ayah bagimu… berpulang karena penyakit jantung. Duhai… apa yang kau rasakan saat itu? Menangiskah engkau saat itu fajarku? Atau mungkin kau hanya terdiam bisu, kembali mempertanyakan dalam hati. Kenapa ini semua terjadi padamu? Mungkin saat itu, matamu menahan tangis. Tapi hatimu hancur sehancur-hancurnya, ketika melihat ibumu bersimbah air mata kehilangan. apa dosamu? Kau hanyalah seorang anak kecil… apa salahmu??

Ayah keduamu pergi, beberapa saat sebelum ujian akhir nasional. Bagaimana dengan ujianmu? Hancurkah cita2mu untuk bisa masuk ke SMP yang kau inginkan?? Betapa! Kenapa dunia ini kejam padamu??! Atau mungkin kau hanya pasrah… menyerah dengan semua yang terjadi. Masih bisa kau simpul senyum manismu itu. Masih bisa kau tertawa renyah… hatimu, sudah tabah.

Kembali, kau lalui hari2mu tanpa figur seorang ayah. Kau lewati masa2 remajamu tanpa seorang bapak. Sanggupkah aku? Jika harus mengalami apa yang kau alami. Seharusnya kita sama2 naik tingkat ke SMA. Seharusnya nanti, kita sama2 lulus kuliah. Ya, seharusnya… tapi takdir berkata lain.

Kau korbankan satu tahunmu untuk bekerja. Kau kubur cita2mu untuk bersekolah, untuk membantu ibumu. Kau mengalah pada adikmu. Dan selama satu tahun, berbagai pekerjaan telah kau rasai. Walau hasilnya tak seberapa. Walau hanya untuk memenuhi kebutuhan makanmu. Tapi kau sabar melakukan itu semua… tak seperti teman2mu yang lain. Tak sempat kau memikirkan dirimu sendiri. tak bisa kau mengisi masa2 remajamu sewajar remaja2 yang lain…

Sedangkan aku? Ahh.. sungguh aku dan segala keluh kesahku ini keterlaluan. Fajar, kau harus tetap sekolah! Kau harus tetap mengejar cita2mu. Tak bisa aku biarkan dirimu menjadi korban kekejaman dunia. Kau harus bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih layak untukmu. Aku tak ingin kau mengorbankan masa2 remajamu yang seharusnya indah. Tak bisa lagi kubiarkan kau menelan takdir pahit itu sendirian… ya, tak bisa lagi.

Dan syukurlah, kini kau kembali ke bangku sekolah. walau akhirnya kau tertinggal satu tahun, tapi tak apa. Kau masih bisa menjadi yang lebih baik. Kau jadikan SMK sebagai pilihanmu… juga untuk keluargamu.

Fajar… tak berani aku bertemu kembali denganmu. Aku tak ingin melihat luka2mu, tak sanggup aku melihat bekas2 perihnya itu. Aku tak tega… T_T

Mungkin hidup membuatmu tampak lebih tua dari umurmu. Tapi hidup membuatmu menjadi orang yang lebih bijak. Kau yang kini begitu kuat, begitu tegar. Tak ada lagi ketakutan, itu hanya masa lalu. Dan kini kau memilih untuk berdamai dengan nasib. Kudengar suaramu lewat telepon, terenyuh hatiku. Pecah tangisku. Kau begitu tabah, saudaraku… kau begitu sabar…

Tangis cengengmu, telah terganti dengan senyum tabahmu…

Semoga Allah selalu memberkahimu. Membalas semua kesabaranmu selama ini. mengganti tangis diam-mu selama ini. memberikanmu, derajat yang tinggi disisiNya…

Lama kita tak bertemu… tapi hatiku, akan selalu menyayangimu. Fajar….

*tangisku ini, apa ada artinya untukmu? T_T

my page

kategori

calendaa..

April 2024
M S S R K J S
 123456
78910111213
14151617181920
21222324252627
282930